Terjemahan

Rabu, 10 Juli 2013

Mencintai Tanpa Syarat



ALHAMDULILLAHI rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Kepada-Nya kita kita memuji dengan pujian yang sempurna. Tiada tuhanselain Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya Dia yang layak untuk dipuji dan disembah dengan sepenuh penghambaan. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan dan menyandarkan harapan.

Shalawat dan salam semoga tak habis-habis kita lantunkan untuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu‘alaihi wa ‘alaa `alihi wa shahbihi wa sallam. Tiada kecintaan kepada Allah‘Azza wa Jalla kecuali dengan mentaati utusan-Nya, Muhammad Al-Amin yang menjadi penutup para nabi. Inilah risalah terakhir yang harus kita pegangi.Tidak ada yang lebih berharga untuk kita wariskan kepada anak-anak kita melebihi segenggam iman yang kita harapkan dengan sepenuh kesungguhan agar tumbuh berakar menguat dalam jiwa mereka.

Akan tetapi …

Tak seperti harta yang dengan sendirinya diwarisi, harus ada perjuangan agar iman itu tumbuh, berkembang, mengakar dan menguat dalam jiwa anak-anak kita sehingga mereka bersedia meneteskan keringat untuk menyemainya. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka tak berpaling. Dan ini bukan soal kecerdasan. Betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan luas, fasih berbicara bahasa Arab, tapi iman itu tak bersemayam dalam dirinya. Betapa banyak orang yang mengetahui dan bahkan memahami nash dengan sangat matang,tapi ia justru menjadi penentangnya yang paling lantang. Betapa banyak orang yang memiliki banyak hafalan, tapi sikap beragamanya justru plin-plan. Na’udzubillahi min dzaalik. Inilah pertanyaan besar yang perlu kita renungi senantiasa agar segenggam iman dalam jiwa anak kita tak terlepas dan berganti dengan keingkaran.

Telah berlalu dari zaman kita ini orang-orang yang cemerlang pengetahuannya, disegani kepakarannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan dihormati kepemimpinannya. Dan mereka justru meraih itu semua bermula dari keimanannya yang sangat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Iman itu menggerakkan mereka untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, termasuk belajar mendalami berbagi cabang pengetahuan. Mereka menjadi pribadi yang kuat karena mereka tidak menyandarkan harapan kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Tak sibuk meratapi masa lalu karena khawatir menjadi pintu masuknya setan untuk melemahkan jiwa dan imannya.

Ada yang perlu kita renungkan di sini. Jika iman benar-benar tumbuh, maka kesungguhan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya adalah buah yang manis untuk dipetik. Ini sekaligus menandakan bahwa jika kesungguhan itu tidak hadir, ada yang perlu diperiksa atas iman mereka. Adakah mereka telah benar-benar beriman ataukah hanya memiliki banyak pengetahuan tentang iman. Sangat berbeda mengimani dengan memiliki pengetahuan tentang iman. Seorang yang beriman sudah sepatutnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengilmui apa yang ia imani. Tetapi sekedar memiliki banyak pengetahuan tentang iman tak serta merta menjadikan diri beriman.

Nah, inilah yang perlu kita renungkan seraya mengingat bahwa sepeninggal kita nanti, di luar shadaqah jariyah dan ilmu yang manfaat, tak adalagi yang dapat kita harapkan manfaatnya selain anak-anak shalih yang mendo’akan. Artinya, pertama-pertama mereka harus menjadi pribadi yang shalih dulu, lalu bersebab keshalihannya mereka mendo’akan kita. Bisa saja anak mendo’akan kita setiap hari meskipun mereka tidak shalih. Tetapi apa manfaat yang dapat kita harap jika mereka mengerjakan apa-apa yang menjadi penghalang terkabulnya do’a? Maka, atas do’a anak-anak kita, yang pertama kali kita perlu risaukan adalah iman mereka; keshalihan mereka.



Jika anak-anak menjadi pribadi yang shalih bersebab upaya kita, apakah dengan mengajarkan agama ini secara langsung kepada mereka ataukah mengantarkan mereka meraih keshalihan melalui didikan guru-guru terbaik, maka atas setiap kebaikan yang mereka perbuat ada pahala yang mengalir untuk kita. Jadi, keshalihan itu pun telah berlimpah manfaatnya meskipun mereka belum mendo’akan kita. Apatah lagi jika mereka tak putus-putus berdo’a memohon kasih-sayang Allah ‘Azza wa Jalla bagi kita.

Tetapi apakah yang menjadikan mereka senantiasa berkeinginan untuk mendo’akan kita? Apakah yang membuat mereka senantiasa mengingat kita? Kedekatan emosi. Jika anak-anak itu tak pernah memiliki rasa rindu kepada kita, bagaimana kita berharap mereka akan senantiasa menyebut-nyebut nama kita dalam do’a mereka sesudah kita tiada? Saat hidup saja tak dirindukan. Apalagi jika nyawa telah tercabut dari badan. Masalahnya, sudahkah kita menyemai rasa rindu di hati anak-anak kita? Sudahkah kita memanfaatkan saat-saat berharga untuk anak kita dengan membersamai mereka dan hadir dalam kehidupan mereka secara bermakna? Inilah yang agaknya perlu kita periksa lebih dalam: saat berharga untuk anak kita. Apa maknanya bagi anak?

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk mengembangkan potensi mereka? Sangat perlu. Hanya saja kita perlu mengingat bahwa itu semua seharusnya untuk menjadikan anak-anak kita semakin ringan hatinya menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Kita perlu mencerdaskan anak dan melejitkan potensi mereka.

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk melejitkan kecerdasan mereka? Sangat perlu. Tapi cerdas saja tidak cukup. Demikian pula cara untuk mengantarkan anak-anak meraih kecemerlangan tersebut amat perlu kita perhatikan. Jangan sampai ambisi kita menjadikan anak “tampak istimewa” justru menjadi sebab rapuhnya jiwa dan lemahnya iman bersebab kita mengejar yang instant, melupakan yang fundamental.

Lalainya kita dari memperhatikan hal-hal yang fundamental justru dapat menjatuhkan kita pada kesalahan yang berkepanjangan, penyesalan tak berkesudahan atau kesia-siaan yang besar, padahal kita telah berpayah-payah melakukannya. Atau justru karena tak mau berpayah-payah, kita mengabaikan yang berharga sekaligus amat bermanfaat untuk anak.

Inginnya anak jenius, tetapi cara instant yang kita tempuh ternyata tak memberi manfaat apa-apa. Musik Mozart salah satu contohnya. Banyak orang mempercayai mitos bahwa memperdengarkan musik Mozart kepada bayi akan menjadikannya jenius. Padahal tak ada riset yang mendukung. Yang ada justru membantah anggapan itu. Sudah ratusan ribu keeping CD Mozart terjual, sembari melupakan bahwa pada waktu kecil Mozart tak pernah mendengar musik Mozart, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun jenius yang terlahir darinya.

Sama halnya dengan bakat. Banyak yang berlebihan menilai bakat seolah ia menjadi penentu keberhasilan, seakan bakat dengan sendirinya menjadikan seseorang unggul. Orangtua sibuk mencari tahu bakat anak, tapi lupa melapangkan hati untuk mencintai tanpa syarat, meluangkan waktu untuknya dan menempanya agar memiliki kesungguhan serta tujuan hidup yang jelas. Kita lupa bagaimana para orangtua yang tak mengenal bakat dapat mengantarkan anak meraih kecemerlangan, bersebab penerimaan mereka apa adanya dan kesungguhannya mendidik anak. Di luar itu ada satu pertanyaan serius, bagaimana bakat itu melekat pada diri seseorang? Muncul dengan sendirinya?

Ada paradoks. Kita semakin banyak belajar tentang cara kerja otak, tapi di saat yang sama justru semakin enggan berpikir. Kita enggan menelaah, sehingga tak tahu mana yang ilmiah mana yang pseudo-ilmiah. Seakan ilmiah, padahal bukan.

Catatan ringan di buku ini ingin mengajak Anda semua untuk senantiasa menakar kembali langkah kita mengasuh anak, adakah ia menguatkan segenggam iman anak kita ataukah justru sebaliknya; iman tak semakin kokoh, sementara kecemerlangan yang kita harap pun tak teraih.

Kepada Allah Ta’ala saya memohon hidayah dan inayah-Nya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan bagi diri kita, keluarga kita dan keturunan kita seluruhnya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon kebaikan dan kebahagiaan bagi kita, keluarga dan keturunan kita seluruhnya. Selebihnya, ingatkanlah saya dan berikanlah nasehat yang tulus. Apa yang benar pasti dari Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apa yang salah sepenuhnya merupakan kejahilan dan kelalaian saya. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Penulis buku-buku parenting, kolumnis Majalah Suara Hidayatullah. FB: Mohammad Fauzil Adhim, twitter: @kupinang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar