Terjemahan

Rabu, 10 Juli 2013

Didik Mereka Memuliakan Nash



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Otak perlu dilatih, pikiran perlu dipertajam dan akal ini harus terus menerus diasah. Anak-anak penting sekali kita ajari untuk menajamkan analisis sehingga mampu memahami setiap gejala dan peristiwa dengan baik, lalu mengambil keputusan dengan benar. Ini semua sepatutnya menjadi perhatian kita, para pendidik, semenjak awal. Kita rangsang mereka untuk berpikir sekaligus kita bekalkan kepada mereka pijakan yang kuat dalam mengambil petunjuk.
Fasihnya anak membaca ayat memang tak dapat ditawar. Kita harus ajarkan ini dengan sebaik-baiknya semenjak masa-masa awal mereka belajar seraya terus-menerus menjaga dan memperbaiki di masa-masa berikutnya. Tetapi kita tidak boleh lalai  hal yang lebih mendasar, yakni adab terhadap nash yang bersumber dari kitabuLlah (Al-Qur’an) maupun as-sunnah ash-shahihah. Harus ada keyakinan yang kuat dan utuh terhadap nash. Harus ada penghormatan serta ketundukan terhadap nash, sehingga setiap kali mengetahui pendapat kita bertentangan dengan nash, maka kita segera meninggalkan pendapat kita. Dan inilah hal mendasar yang harus kita tanamkan pada jiwa anak-anak kita.
Sebelum kita akrabkan mereka dengan Al-Qur’an lalu menghafalkannya, kita tanamkan terlebih dulu penghormatan terhadap Al-Qur’an dan as-sunnah. Kita tumbuhkan keyakinan dalam diri mereka bahwa sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah dan sebaik-baik petunjuk adalah as-sunnah ash-shahihah.
Renungilah sejenak sabda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”(HR. Muslim).
Keyakinan yang kuat dan utuh bermakna bahwa kita yakin sepenuhnya terhadap nash tanpa memerlukan penguat yang bernama hasil penelitian modern maupun pendapat para pakar yang justru hidupnya bertentangan dengan Al-Qur’an. Jika pun ada temuan dalam ilmu pengetahuan modern yang tampak bersesuaian dengan sebagian nash, maka ia bukanlah penguat dari kebenaran nash. Kita bisa saja merasa kagum, tetapi ia tidak dapat menjadikan kita serta merta meyakini apa yang datang dari ilmu pengetahuan modern tersebut. Justru, ia harus diuji oleh nash berdasarkan tafsir atau syarah yang dapat dipercaya, karena apa yang tampaknya sama boleh jadi justru sangat berbeda.
Jika terhadap apa-apa yang tampaknya dapat memperkuat keyakinan terhadap dalil (nash) saja kita perlu berhati-hati, maka terlebih lagi amat tidak patut kita mencari-carikan nash yang kira-kira bersesuaian agar orang mudah menerima pendapat atau keyakinan yang tampak hebat. Sungguh, ini dapat menjadi sebab munculnya fitnah syubhat, yakni kerusakan keyakinan dalam masalah dien. Contohnya, mengait-ngaitkan hadis terhadaplaw of attraction (hukum daya tarik). Ini merupakan perkara yang disangkakan sebagai ilmu pengetahuan, padahal sebenarnya merupakan salah satu keyakinan dalam NAM (New Age Movement); gerakan paganisme baru. Atau menganggap titik di otak yang disebut God Spot sebagai fithrah, padahal pencetus istilah itu adalah seorang atheis dan penelitian tidak terkait dengan masalah ketuhanan an sich.
Sikap dasar terhadap nash ini tampaknya tak terkait langsung dengan mutu pembelajaran, tapi ia berhubungan erat dengan ketundukan diri anak terhadap segala yang datang dari Al-Qur’an dan as-sunnah. Jika anak memiliki penghormatan yang besar terhadap nash, maka ia akan lebih mudah mengikuti apa yang digariskan oleh nash. Ia juga belajar menundukkan pikirannya terhadap nash. Dan ini merupakan hal yang sangat menentukan kehidupan anak selanjutnya.
Jadi, tak cukup sekedar membuat mereka fasih berucap dan lancar menyebutkan.
Sesungguhnya, yang harus kita bekalkan kepada anak sebelum mereka belajar Al-Qur’an lebih banyak adalah iman dan sikap terhadap nash. Jika hanya hafal, bukankah Abu Muhammad al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi pun seorang penghafal Al-Qur’an? Bahkan ia orang yang berjasa menambahkan titik pada huruf Al-Qur’an yang bentuknya sama tapi cara bacanya beda, sehingga hari ini kita lebih mudah membaca Al-Qur’an. Tetapi tidak cukup untuk melunakkan hatinya. Sungguh, catatan sejarah tidak akan pernah terhapus tentang betapa kejamnya Al-Hajjaj. Betapa banyak yang bersyukur saat kabar kematiannya terdengar.
Pada awalnya, penghormatan itu bersifat fisik. Ini proses yang lebih mudah untuk memberi pengalaman kepada anak. Tetapi ini harus disertai, pada saat yang sama, dengan menumbuhkan rasa hormat terhadap nash. Kita ajak mereka untuk mengingat betapa berbedanya sikap Imam Malik rahimahullah manakala beliau hendak menyampaikan hadis, meski cuma satu, dengan ketika beliau hendak menyampaikan perkara lainnya. Kita juga dapat menunjukkan kepada anak-anak bagaimana seharusnya bersikap terhadap mushhaf Al-Qur’an. Bermula dari perlakuan yang penuh hormat, perilaku fisik yang tepat serta sikap yang memuliakan Al-Qur’an, kita sungguh-sungguh berharap mereka kelak juga memiliki penghormatan yang sangat tinggi terhadap nash pada saat harus memecahkan masalah dan mengambil petunjuk hidup.
Penghormatan terhadap Al-Qur’an dan hadis ini harus satu rangkaian dengan mengakrabkan mereka terhadap keduanya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Mengimani Nash
Tak ada artinya penghormatan tanpa mengimani apa-apa yang datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Saya telah membaca berbagai buku yang ditulis orang kafir dan di dalamnya terdapat nukilan dari perkataan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam atau Al-Qur’an. Mereka mengambilnya, tetapi bukan menjadikannya sebagai sumber kebenaran yang diimani. Mereka hanya mengambil sebagai kata mutiara.
Di sejumlah sekolah, kita kadang melihat kutipan terjemah Al-Qur’an mengiringi kata mutiara dari sekian banyak orang. Kutipan terjemah ini hanya menjadi salah satu saja. Ironisnya kata mutiara lain bukan penguat agar siswa mencintai Al-Qur’an, melainkan kalimat yang tidak saling terkait isinya. Ini tampaknya baik, tetapi justru menjadikan penghormatan anak terhadap Al-Qur’an surut dan keimanannya terhadap nash melemah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Maka, hal penting yang harus menjadi perhatian kita semenjak awal anak masuk sekolah adalah menumbuhkan keimanan mereka kepada nash. Mengimani rasul berarti mengimani apa-apa yang benar-benar diucapkan oleh beliau shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Itu sebabnya dalam perkara hadis, kita ajak anak-anak untuk senantiasa memastikan apakah hadis tersebut dapat diterima ataukah tidak. Ini berbarengan dengan menanamkan kehati-hatian dalam diri mereka agar tidak gegabah menyandarkan pada Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Terkait mengimani Allah Ta’ala dan rasul-Nya, mari kita ingat sejenak firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالله ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله والكتاب الذي أنزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضل ضلالا بعيدا
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisaa’, 4: 136).
Rujuk Kepada Nash
Betapa banyak orang yang tahu betul kebenaran Al-Qur’an dan hadis, tapi berat baginya menerima, mengakui dan mengikuti. Di antara sebab beratnya diri mengikuti nash adalah karena ia telah sedemikian yakin pada apa yang disebut temuan ilmiah, atau perkataan tokoh yang terlanjur amat ia kagumi, atau sebab lain. Sikap yang ditunjukkan oleh para ulama’ terdahulu mengajarkan kepada kita betapa perlunya mendidik diri untuk setiap saat siap rujuk kepada nash, yakni meralat pendapat sendiri karena mengetahui nash yang shahih bertentangan dengan pendapat kita.
Kita perlu biasakan anak-anak berpendapat. Kita perlu asah kemampuan otak mereka. Kita pertajam juga ketajaman analisis anak-anak kita. Tetapi yang tidak boleh dilalaikan, kita harus didik mereka agar merasa terhomat untuk meninggalkan pendapat manakala bertentangan dengan nash yang kuat. Kita tempa mereka untuk menjadikan sikap tersebut sebagai jalan kemuliaan. Bukan merasa malu.
Mari kita ingat sejenak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah:

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadis yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”
Sejajar dengan sikap ini adalah menumbuhkan dalam diri mereka kejujuran ilmiah sebagai bagian dari adab terhadap nash. Salah bentuknya adalah tidak segan-segan berkata “saya tidak tahu” jika memang tidak mengetahui. Bukan bersibuk-sibuk mencari dalih agar tampak berilmu.
Wallahu a’lam bish-shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar