Terjemahan

Sabtu, 29 Juni 2013

Hukum Membaca Al-Ma’tsurat


Oleh : Muhammad Nuh
Assalamu alaikum wr.wb
Pak Ustads kami mau menanyakan tentang membaca Al-Matsurat oleh hasan Al Banna berdasarkan hukum islam dan siapakah sebenarnya Hasal Al Banna ini?
terima kasih Pak Ustads 
Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Membaca Al Ma’tsurat
Al ma’tsurat merupakan kumpulan dzikir dan doa yang dikumpulkan oleh Imam Hasan Al Banna yang diambil dari hadits-hadits Nabi saw untuk dibaca oleh setiap anggota jama’ah Ikhwanul Muslimin khususnya atau seluruh kaum muslimin pada umumnya agar senantiasa mengingat Allah swt dan berada dalam ketaatan kepada-Nya.
Imam Al Banna juga meminta agar al ma’tsurat senantiasa dibaca pada saat pagi, mulai dari waktu fajar hingga zhuhur dan pada saat petang mulai dari waktu ashar hingga setelah isya, baik secara berjama’ah maupun sendirian. Beliau mengatakan,”Siapa yang tidak sempat membaca seluruhnya hendaklah dia membaca sebagiannya sehingga kelak ia tidak terbiasa melalaikan dan meninggalkannya.”
Imam Al Banna juga mengingatkan setiap anggotanya agar senantiasa menyadari pentingnya mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan, keutamaan-keutamaannya dan memperhatikan adab-adab didalam berdzikir.
Al Banna mengatakan,”Apabila engkau mengetahui, wahai akh yang mulia, maka janganlah engkau merasa aneh jika seorang muslim senantiasa mengingat Allah disetiap keadaannya, mewarisi Nabi saw—dialah sebaik-baik makhluk—didalam dzikir, doa, syukur, tasbih dan tahmid disetiap keadaan baik yang kecil, besar maupun yang dianggap remeh. Sesungguhnya Nabi saw senantiasa dzikrullah disetiap keadaannya maka tidaklah aneh jika kami meminta kepada Ikhwanul Muslimin untuk meniru sunnah Nabi mereka dan berqudwah kepadanya serta menghafalkan dzikir-dzikir ini dan mendekatkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Pengampun dengannya, sebagaimana firman Allah swt :
Al Ahzab 21
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)
Tentang dzikir secara berjama’ah, Imam Al Banna menyebutkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,”Tidaklah suatu kaum duduk-duduk untuk berdzikrullah kecuali para malaikat mengelilingi mereka, dipayungi dengan rahmat, turun ketenangan kepada mereka dan Allah menyebut-nybut mereka kepada siapa saja yang berada disisi-Nya.”
Kalian akan banyak menjumpai hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi saw keluar untuk shalat berjama’ah sementara mereka sedang berdzikrullah di masjid lalu beliau saw memberikan kabar gembira kepada mereka dan tidak melarang mereka.
Berjama’ah didalam ketaatan adalah sesuatu yang disukai terlebih lagi apabila didalamnya banyak mengandung manfaat, seperti menyatukan hati, menguatkan ikatan, memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat, mengajarkan orang-orang awam yang belum baik dalam belajar dan mengumandangkan syiar-syiar Allah swt.
Memang sesungguhnya berjama’ah didalam dzikir dilarang apabila didalamnya terdapat hal-hal yang dilarang syariat, seperti mengganggu orang shalat, senda gurau, tertawa, menyelewengkan lafalnya, mengungguli bacaan yang lain atau sejenisnya, dan jika terjadi seperti itu maka berjama’ah didalam berdzikir tidaklah diperbolehkan bukan pada berjama’ahnya itu sendiri, khususnya apabila dzikrullah secara berjama’ah itu dengan menggunakan lafal-lafal dzikir yang ma’tsur lagi shahih sebagaimana didalam wazhifah (al matsurat) ini.
Alangkah baiknya jika Ikhwan senantiasa membacanya disetiap pagi dan petang di tempat-tempat berkumpul mereka ataupun di sebuah masjid dengan menghindari hal-hal yang dimakruhkan. Dan siapa saja yang kehilangan berjama’ah didalam membacanya maka hendaklah dia membacanya secara sendirian dan janganlah meremehkannya. (Majmu’atur Rosail hal 519 – 522)
Membaca al ma’tsurat atau kumpulan-kumpulan dzikir lainnya baik secara berjama’ah maupun sendirian diperbolehkan selama didalam pembacaannya tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana disebutkan didalam sebuh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai dari hadits Muawiyah bin Abu Sofyan ra, dia berkata,”Sesungguhnya Nabi saw mendatangi halaqah para sahabat, dan berkata,”apa yang menjadikan kalian duduk-duduk?’ mereka mengatakan,’Kami duduk untuk berdzikrullah dan memuji-Nya terhadap atas segala petunjuk-Nya kepada kami kepada islam dan segala nikmat-Nya kepada kami… sehingga beliau bersabda,’Telah datang Jibril menemuiku dan memberitahuku bahwa Allah swt membanggakan kalian dihadapan para malaikat.” 
Siapakah Imam Hasan Al Banna?
Jika kita membicarakan sosok Hasan Al Banna maka kita tidak bisa melepaskannya dari Jama’ah al Ikhwanul Muslimin, karena dia adalah pendiri dan tokoh sentral jama’ah ini.
Hasan Al Banna dilahirkan di kota al Mahmudiyah di Propinsi al Buhairoh, Mesir pada tahun 1906. Ayahnya adalah seorang ulama yang bernama Ahmad Abdurrahman Al Banna.
Di usia 8 th Al Banna disekolahkan di Madrasah Diniyah Ar Rasyad dan pada usianya yang menginjak 12 tahun dia berhasil menghafal setengah Al Qur’an. Bersama teman-teman SD nya dia mendirikan “Perkumpulan Akhlak dan Adab” kemudian “Perkumpulan Mencegah Hal-hal yang Diharamkan”.
Pada usia belum genap 14 tahun ia telah menghafal 2/3 Al Qur’an dan masuk Madrasah Mu’allimin di Damanhur. Pada usia 16 tahun dia masuk Sekolah Tinggi Darul ‘Ulum dan menyelesaikannya dengan mendapatkan ijazah diploma pada usia 20 tahun di bulan Juni 1927. Setelah itu dia memutuskan untuk menjadi seorang guru di Ismailiyah.
Berbagai penurunan kualitas umat, baik dalam skala Mesir maupun internasional bahkan cenderung menuju kehancuran, seperti berbagai kerusakan akidah, dekadensi moral, keadaan Turki setelah PD I yang berada dibawah kekuatan Inggris dan menjadikannya sebuah negara sekuler serta bercokolnya penjajah di bumi Mesir mendorongnya untuk membentuk al Ikhwanul Muslimin pada bulan Maret 1928.
Setelah mendirikan jama’ah Al Ikhwanul Muslimin di Ismailiyah, Hasan Al Banna mulai mendirikan masjid dan tempat pertemuan al Ikhwan, membangun Ma’had Hira al Islamiy, sekolah untuk ibu-ibu kaum mukminin yang menjadikan da’wah Ikhwan mulai dikenal dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pada tahun 1933, Hasan Al Banna pindah ke Kairo yang kepindahannya ini menjadikan berpindah pula Kantor Pusat al Ikhwanul Muslimin kesana. Sejak di Kairo, beliau selalu melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk melakukan pembinaan para anggota ikhwan yang baru tentang akhlak berda’wah dan membekali mereka agar memiliki ketahanan didalam mengemban beban-bebannya. Pekerjaan ini terus dilakukannya hingga jama’ah al Ikhwanul Muslimin memenuhi seluruh tempat di Mesir.
Hal itu pun didukung dengan berbagai strategi da’wah yang dipusatkan di Kairo diantaranya :
  1. Berbagai ceramah, ta’lim di masjid-masjid.
  2. Menerbitkan Risalah “al Mursyid al ‘Am”, majalah pekanan “al Ikhwanul Muslimin” kemudian majalah “An Nadzir”
  3. Mengeluarkan surat-surat dan buletin.
  4. Membentuk syu’bah-syu’bah (cabang-cabang) di dan luar Kairo.
  5. Membentuk organisasi kepanduan & olah raga.
  6. Memfokuskan da’wah ke kampus dan sekolah.
  7. Mu’tamar dan dauroh di Kairo & kota-kota lain.
  8. Menghidupkan kembali syi’ar-syi’ar islam di Kairo dan kota-kota lain.
  9. Munashoroh negeri-negeri islam terutama Palestina.
  10. Mengambil peran dalam perbaikan politik dan sosial.
  11. Ikut serta dalam memerangi kristenisasi.
  12. Mengingatkan kelalaian penguasa terhadap islam.
Hal itu menjadikan pemerintah Kolonial Inggris geram sehingga mereka membuat langkah-langkah untuk memadamkan cahaya da’wah dengan melakukan :
  1. Menjauhkan para pendukung Hasan Al Banna dari semua kursi pemerintahan di Mesir.
  2. Memutasikan Al Banna dari pekerjaannya di Kairo ke Qana.
Hingga akhirnya al Ikhwanul Muslimin dibubarkan untuk pertama kalinya pada tahun 1942 dan menutup seluruh cabang-cabangnya.
Pada Oktober 1946 mulailah terjadi pegolakan di Mesir yang ditandai dengan berbagai demonstrasi mahasiswa yang dipelopori oleh para mahasiswa Ikhwan. Demonstrasi ini terus berlangsung hingga pada 9 Februari 1947 beberapa mahasiswa Ikhwan menjadi syuhada dalam sebuah Long March menuju istana Abidain
Pengawasan pemerintah terhadap para aktivis ikhwan pun diperketat sejak bulan Juni hingga Agustus 1947. Dan siapapun yang dianggap mencurigakan dan berbahaya akan ditangkap, dan puncaknya adalah pada bulan September 1947 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota ikhwan oleh Pemerintahan Ismail Shidqi. Tidak kurang dari 40.000 anggota ikhwan ditangkap dan dipenjarakan. Tindakan sewenang-wenang ini pun berlanjut dengan penangkapan para tokoh Ikhwan pada tanggal 16 November 1947 yang menjadikan kerusuhan di Mesir semakin meluas. Puncak dari itu adalah jatuhnya Ismail Shidqi pada tanggal 8 Desember 1947.
Permasalahan Mesir pun dibawa ke dewan Keamanan PBB seperti yang diusulkan ikhwan. Pada kesempatan ini ikhwan pun mengirimkan utusannya yang bernama Mustafa Mukmin ke sidang Dewan Keamanan PBB namun beliau diusir ke luar gedung sehingga dia berpidato di luar gedung Dewan yang cukup menyita banyak perhatian orang-orang yang melintas, termasuk para imigran dari Asia dan Afrika. Hasan Al Banna pun mengirimkan surat ke Dewan Keamanan PBB agar Inggris ditarik dari Mesir dan menyatukan Wadi an Nil.
Berbagai konspirasi internasional pun terus dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang mendesak pembubaran al Ikhwanul Muslimin untuk yang kedua kalinya. Sehingga pada 8 Desember 1948 ada sebuah instruksi militer tentang pembubaran Jama’ah al Ikhwanul Muslimin dan menyita seluruh aset-asetnya.
Sejak itu kembali terjadi berbagai penangkapan terhadap banyak kader dan tokoh-tokoh ikhwan hingga puncaknya adalah penembakan Imam Hasan Al Banna, pada tanggal 11 Februari 1949 di depan kantor Asy Syubbanul Muslimun oleh segerombolan orang yang mengenai lambung dan tangan beliau.
Al Banna sempat dibawa ke RS al Qashrul Aini dan ketika seorang dokter muslim yang bernama Abdullah al Katib ingin memeriksanya maka ia pun dilarang. Hingga pada malam harinya, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir,
Pada pukul 01.00 dini hari (12 Februari 1949) datang serombongan orang menemui ayahnya dan memberitahukan kematiannya dan mengatakan kepadanya bahwa jenazah Hasan Al Banna bisa diambil dengan syarat tidak ada iring-iringan pelepasan jenazah dan pemasangan tenda di rumahnya.
Pada keesokan harinya, ayahnya sendiri dengan ditemani oleh Mukram dan beberapa saudara perempuannya mengurusi jenazahnya serta mengantarkannya ke pemakaman Imam Syfi’i dengan dikawal oleh tank-tank berlapis baja. (dari berbagai sumber)
Demikianlah sejarah ringkas kehidupan seorang muassis (pendiri) sebuah jama’ah besar yang da’wahnya hingga hari ini terus menyinari banyak tempat di bumi. Kehidupan seorang yang menghabiskan waktunya untuk umat dan da’wah yang itu semua dibuktikan dengan gugurnya beliau ditangan orang-orang zhalim yang menghendaki cahaya kebenaran ini padam namun mereka lupa bahwa da’wah ini bukanlah milik Hasan Al Banna atau para pengikutnya yang setiap saat bisa mengalami kematian dan digantikan oleh generasi berikutnya. Sesungguhnya da’wah ini adalah milik Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, firman Allah swt :
As Shaff 8
Artinya : “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya“. (QS. Ash Shaff : 8)
Wallahu A’lam
(eramuslim.com)
Download Ebook “Al Matsurat” – silahkan klik disini
COVER-al-matsurat

Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari
labelTidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya menciptakan kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada tiap-tiap individunya. Dengan demikian, segala hal yang bertentangan dengan urusan agama dan merusak keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga kesucian para pemeluknya.
Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan syariat yang meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia.
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya sebagai landasan utama dalam Islam. Allah SWT berfirman:   “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)
Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.Jadi, segala perintah Allah yang disampaikan melalui rasul-Nya adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yang mungkar. Kemudian, Allah SWT menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara menyeluruh.
Allah SWT berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya . Dan hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik umat di tengah-tengah manusia.
 reminder

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah. Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarah Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz  mengemukakan hal yang sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah SWT berfirman: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.
Allah SWT berfirman:
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi SAW bersabda:“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70 dan lain-lain)

Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Allah  menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah berfirman:
“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh mengemukakan bahwa suatu amalan meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah, sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah Rasulullah.
Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi beberapa syarat berikut.

Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.

Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah l tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat).
Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang lain.
Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.

Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan. Bukankah Nabi n telah menyatakan dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap urusan. Allah l akan memberikan kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah l akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673)
Nabi SAW juga bersabda:
“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah t mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut, bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”
Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan. Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan khalayak umum), sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)
amar ma'ruf
Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar ma’ruf nahi mungkar.

Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan.
Al-Imam ar-Razi  menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah  juga mengemukakan bahwa para rasul adalah pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah  telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:
Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah ).” (al-Ahqaf: 35)
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)
Allah juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam firman-Nya:
Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.
Allah SWT berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)

Wal ‘ilmu ‘indallah.
Download Ebook “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” oleh : Syekhul lslam lbnu Taimiyyah.
Cover Amar Maruf
Silahkan Unduh disini

Kamis, 27 Juni 2013

Nasehat Nenek


Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.“Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?” Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,

“Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai. Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti”, ujar si nenek lagi.Mendengar jawaban ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.

“Tapi nek, sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya”, Ujar si cucu.

Si nenek kemudian menjawab, “Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini”,

Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.

pertama:
pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya Allah, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya”.

kedua:

dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik”.


ketiga:
pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar”.


keempat:
bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu”.

kelima:
sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan…
Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan tinggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan. / Islamic motivation

Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah dalam Perilaku Hamba




Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta’alamemiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Fatihah,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Fatihah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththabradhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat,

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا

Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir/ Al Mu’min: 7)



Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta’ala berfirman,

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur’an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta’ala juga berfirman,

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)

Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur’an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Allah ta’ala berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Di antaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang disyari’atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمً

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja’/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah: 39)

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raaf: 56)

Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththabradhiyallahu’anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya’, memurnikan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Wallaahu ta’ala a’lam bish shawaab. Wa shallallaahu ‘ala Nabiyyir rahmah, wa ‘ala aalihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na’budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.



Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil ‘Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20



Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel Muslim.Or.Id