Tak semua bunga punya keindahan yang sama. Ada bunga yang enak dipandang,
enak pula dicium. Harumnya menggiring kita untuk berada lebih dekat. Ada juga
bunga yang indah dipandang, tapi tak enak dicium. Keindahannya cuma untuk dari
jauh. Lebih tak enak lagi dengan bunga jenis ketiga. Wajahnya suram, baunya…,
oh seram!
Pak Budi bersyukur tergolong orang yang bahagia. Selain isteri sholihah,
Allah mengaruniainya dengan anak-anak yang taat. Baginya, dua karunia itu sudah
merupakan karunia yang teramat besar. Dan itulah inti dari doa seorang muslim.
“Ya Allah, karuniakan kami isteri-isteri dan anak-anak yang bisa menjadi
penyejuk mata….”
Betapa indahnya hidup ini. Siang malam dikelilingi para pelipur lara. Senyum
isteri yang bisa mengubah dunia suram menjadi tenteram. Celoteh dan tingkah
polah anak-anak yang membalikkan duka jadi bahagia. Kalau mengingat-ingat itu,
lidah Pak Budi selalu tergerak untuk dzikir dan tahmid. “Maha besar Allah
dengan segala karunia-Nya yang tak terhingga,” ucap Pak Budi dengan penuh
syukur.
Tapi, rasa bahagia Pak Budi pernah juga tergores luka. Sebenarnya, goresan
itu kecil buat ukuran umum. Bahkan, nyaris tak terasa. Tapi, buat Pak Budi itu
teramat besar. Kalau mengingat itu, Pak Budi jadi malu. Malu sama Allah,
isteri, anak, dan dirinya sendiri.
Goresan itu terjadi ketika Pak Budi lupa merubah kebiasaan. Selagi lajang,
Budi muda tergolong aktivis yang super sibuk. Aktif di masyarakat, di kampus,
dan berbagai organisasi Islam. Pagi pergi, pulang menjelang pagi. Paling cepat,
ia pulang jam sebelas malam. Badan letih, pikiran capek, tidur pun jadi pilihan
menarik. Jangankan pakai minyak wangi, mandi saja cuma sekali sehari. Itu pun
cuma pagi.
Buat suasana aktivis, pemandangan itu memang bisa dianggap biasa. Tapi,
gimana kalau yang mengelilingi Pak Budi adalah seorang isteri yang lembut,
senang rapi dan cinta bersih. Juga, anak-anak yang butuh teladan. Wah, suasana
jadi kurang mesra. Boro-boro tertarik, melihat saja sudah jijik.
Masih segar ingatan Pak Budi ketika pulang malam. Saat itu, ia langsung
menghampiri isteri tercintanya. Padahal, bajunya sudah basah kering dengan
keringat. Tiba-tiba bau tak sedap menyergap seisi ruangan. Dengan susah payah,
isterinya menahan bau yang tak karuan. Bahkan, sempat bersin berkali-kali. Mau
bilang khawatir tersinggung. Terus diam, bikin kepala tak karuan. Sayangnya,
Pak Budi tak sadar diri.
“Sudah mandi, Mas,” tanya sang isteri tiba-tiba. “Sudah,” jawab Pak Budi
spontan. “Kapan?” tanya sang isteri lagi. “Tadi pagi,” jawab Pak Budi ringan.
Pernah juga, dengan tiba-tiba mertua berkunjung. Biasanya, Minggu pagi bisa
dimanfaatkan Pak Budi buat tidur lagi. Itu karena malamnya penuh terisi dengan
aneka kesibukan: rapat, kunjungan, dan lain-lain. Dengan perasaan tak berdosa,
Pak Budi menghampiri tamu kehormatannya dengan mata agak belekan. Rambut
ikalnya masih tegak berdiri seperti pemain sepak bola terkenal dari Inggris. “Eh,
ada bapak sama ibu. Silakan duduk!” ucap Pak Budi sambil merapikan sarung.
Saat itu, sang isteri cuma bisa bingung. Malu. Mau negur sudah di hadapan.
Mau diam bikin perasaan tak karuan. Mungkin isteri Pak Budi cuma bisa kebayang-bayang
dengan reaksi ayah ibunya. “Kamu ini. Ngurus suami saja kok tak becus. Gimana
kalau ada anak?”
Pak Budi juga tergolong makhluk yang susah rapi. Busana Pak Budi mudah
ditebak: kaos, celana katun, dan sandal kulit. Kadang-kadang, cuma sandal jepit.
Sebenarnya, Pak Budi punya sepatu. Tapi, itu hanya terpakai saat jadi
pengantin. Selebihnya, Pak Budi kembali kepada habitatnya. Apa adanya.
Suatu kali, Pak Budi diajak isteri menghadiri walimahan. Sang isteri minta
Pak Budi berdandan. Pak Budi bingung sendiri. Mau pakai baju apa. Pakai batik,
nanti mirip birokrat. Pakai jas, bisa dianggap borju. Selain itu, badan bisa
terasa panas. Pakai kemeja kurang pas. Pasalnya, hampir-hampir tak pernah Pak
Budi memasukkan bajunya kedalam celana panjangnya. Biasanya, sang baju
dibiarkan menjuntai melambai-lambai.
Lama Pak Budi merenung di depan lemari. Sekumpulan baju yang nyaris tak
pernah tersentuh, hanya bisa terpandang. Sesekali, ia melirik busana
seragamnya. Kaos, dan celana katun. Tapi, ia yakin, isterinya pasti tak setuju.
Masak ke pesta berbaju ala kadarnya. Jadilah Pak Budi terdiam dalam aneka
pilihan.
Selain batik dan kemeja, Pak Budi juga alergi dengan minyak wangi. Terlalu
naif buat Pak Budi berminyak wangi. Ia lebih memilih mandi berkali-kali
ketimbang harus pakai minyak wangi. Ungkapan penolakan terhadap minyak wangi
memang tak bisa tergambar jelas. “Pokoknya, gimana gitu,” ucap Pak Budi suatu
kali ke teman dekatnya. “Sepertinya, kok genit amat pake minyak wangi segala.
Cengeng,” tambah Pak Budi suatu kali.
Di sisi lain, penampilan Pak Budi kadang bisa menguntungkan. Terutama
ketika naik kendaraan umum. Biasanya, copet mengincar mereka-mereka yang tampil
necis. Dalam hal ini, Pak Budi diuntungkan. Jangankan mengincar, melirik ke Pak
Budi saja, copet-copet sudah pesimis.
Akhirnya, sang isteri tak bisa tahan dalam diam. Suatu hari, isteri Pak
Budi berbagi rasa. “Mas ganteng, deh. Apalagi kalau bajunya kemeja, pakai
minyak wangi, dan bersisir rapi. Wah, seperti bintang film aja!” ucap sang
isteri sambil bercanda. Yang diajak bicara cuma diam. Hanya senyumnya yang
mengembang. “Repot, ah!” ucap Pak Budi ringan.
Kesadaran pun muncul ketika pasangan suami isteri itu dikaruniai Allah
seorang puteri. Saat puteri Pak Budi pulang dari sekolah TK, Pak Budi mau berangkat
keluar. Mereka saling berpapasan. “Lho, Ayah mau kemana?” tanya si anak. “Kerja!”
jawab Pak Budi singkat. “Tapi, kok rambutnya masih acak-acakan,” komentar sang
anak spontan. “Emangnya kenapa?” tanya sang ayah. “Malu, dong!” protes si kecil
tajam. “Malu ama siapa?” tanya Pak Budi lagi. “Ya, sama Rasulullah! Nabi
Muhammad itu selalu rapi. Tau!” bentak si kecil enteng.
Kontan saja, ucapan si kecil bikin Pak Budi mikir berkali-kali. Aih,
benarkah? Suara hati Pak Budi bertanya dalam. Benarkah Rasulullah yang tak
pernah sedetik pun waktu luangnya terlewatkan tanpa pergerakan selalu tampil
rapi?
Pak Budi merenung sejenak. Saat itu juga, ia kembali masuk ke rumah. Diambilnya
sebuah buku. Buku itu berjudul ‘Akhlak Nabi’. Lambat Pak Budi membuka helai
demi helai halaman buku. Dan…. “Benar. Anakku memang benar!” suara Pak Budi
perlahan.
Mata Pak Budi masih tertuju pada halaman buku yang berisi sebuah hadits
Rasulullah saw. Artinya, “Sesungguhnya, kamu akan bertemu dengan
saudara-saudara kamu. Rapikanlah busana kamu. Dan bersihkanlah kendaraanmu.
Sesungguhnya Allah swt. tidak suka dengan hamba yang jorok, lagi dekil.”
Sejak itu, Pak Budi berubah perlahan tapi pasti. Ia mulai pakai kemeja.
Sesekali dengan minyak wangi. Cuma jas yang masih belum ia terima. Entah
kenapa, seleranya belum nyambung dengan busana yang satu ini. Tapi,
itulah Pak Budi.
Ah, bahagianya jadi bunga. Enak dipandang, nyaman didekati. Lagian,
bagaimana mungkin bisa merubah masyarakat kalau mereka tak mau mendekat. Itu
namanya sulap. Bukan sulap, bukan sihir. Orang khilaf, kurang zikir. (nh)
/ http://www.eramuslim.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar