Terjemahan

Sabtu, 22 Juni 2013

SHALAT JAMA’AH: pelajaran bermasyarakat & berpolitik



oleh : Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Salat jama’ah merupakan simbol atau miniatur kehidupan masyarakat. Imam salat dianalogikan dengan pemimpin masyarakat, sedangkan makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat. Salat jama’ah mempunyai aturan-aturan tertentu, masyarakat pun mempunyai aturan. Mekanisme shalat jama’ah menggambarkan mekanisme kehidupan masyarakat.
Makmum dianalogikan dengan anggota masyarakat atau bawahan seorang pemimpin. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh makmum antara lain ia di belakang imam (lebih belakang dari imam), meluruskan dan merapatkan barisan salat, mempunyai niat ikhlas untuk selalu mengikuti gerak-gerik imam, makmum pria berada di bagian depan, anak-anak di tengah, dan wanita di bagian belakang (Ghazali, 1988:150-152 ; Shiddieqy, 1977:352-365,396-401).Seorang imam salat mempunyai kriteria (syarat) tertentu seperti sanggup menunaikan salat, mengetahui aturan salat jama’ah, berakal sehat, mampu membaca al-Quran dengan benar, orang yang sholeh (baik, terhindar dari kemaksiatan), disetujui oleh makmum, dan dapat dipilih yang lebih tua. Syarat tersebut dapat direfleksikan pada pemimpin masyarakat. Dengan demikian seorang pemimpin masyarakat sanggup melaksanakan tugasnya, profesional dalam tugasnya, berakal sehat, dapat menjadi contoh yang baik dan disepakati oleh warganya.
Dari hal-hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa anggota masyarakat atau bawahan menempati posisi lebih bawah dari pada pemimpin. Mereka harus melakukan pekerjaan dengan lurus (benar) dan bersatu (gotong royong). Mereka seharusnya bersedia dengan rela mengikuti aturan yang benar dari pimpinannya. Anggota masyarakat mempunyai posisi (status) masing-masing. Heterogenitas makmum menggambarkan heterogenitas masyarakat.
Gerakan shalat jama’ah merupakan gerakan kolektif, yaitu gerakan yang dilakukan secara bersama-sama setelah imam memberi contoh. Kebersamaan ini merupakan simbol persatuan dan kesatuan manusia yang seharusnya digalang dengan gotong royong dan saling membantu. Gerakan tersebut juga mengindikasikan keteladanan para pemimpin, yaitu ketika imam bergerak terlebih dahulu dari pada makmum. Dengan demikian seorang pemimpin harus ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (memberi contoh waktu di depan, memberi semangat waktu di tengah, dan memberi doa restu waktu di belakang).
Jika imam melakukan suatu kesalahan bacaan maupun gerakan, maka makmum harus mengingatkannya. Makmum mengingatkan bacaannya bila kesalahan pada bacaan dan jika kesalahannya pada gerakan maka makmum pria mengingatkan dengan mengucap subhaanallaah (Maha Suci Allah) dan makmum wanita mengingatkan dengan tepuk tangan sekali. Hal tersebut merupakan simbol kontrol sosial (kritik sosial) dari rakyat (wakil rakyat) terhadap pemimpinnya. Kontrol (kritik) itu dilakukan dengan “suara” atau gerakan yang tidak menusuk perasaan. Dalam hal ini pemimpin (imam) harus peka.
Apabila imam melakukan sesuatu yang membatalkan salat (misalnya kentut), maka ia harus menyingkir untuk berwudlu, kemudian makmum yang berdiri di belakangnya maju selangkah untuk menggantikan dan melanjutkan kepemimpinannya dalam salat. Hal ini menjadi simbol suksesi atau regenerasi kepemimpinan. Imam batal salatnya berarti dia tidak mampu (tidak sah), memang tidak boleh, melanjutkan kepemimpinan shalatnya.
Jika seorang pemimpin tidak mampu (tidak pantas) memimpin, maka seharusnya ia turun jabatan dengan sadar dan ikhlas. Penggantinya adalah orang yang paling dekat dengannya, yaitu dekat tempat, jabatan, maupun kemampuannya (simbol makmum pengganti yang di belakang imam). Makmum pengganti imam melanjutkan shalatnya; pemimpin barus melanjutkan kepemimpinan yang lama, bukan merombaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar