Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Kaum
muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban
kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita
yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta’alamemiliki sifat rahmat.
Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.
Misalnya, Allah ta’ala berfirman dalam
surat al-Fatihah,
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Fatihah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan
adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 96)
Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththabradhiyallahu’anhu, beliau
menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada
seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang
bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian
perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para
sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak
melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada
ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah
itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang
umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat
maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana
firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat,
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Wahai
Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS.
Ghafir/ Al Mu’min: 7)
Adapun rahmat yang khusus adalah yang
diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak
hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Dan
rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya
untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf: 156)
Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita
saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh
manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan
agama dan keyakinan mereka.
Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus
dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat
manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur’an,
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus
dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ
“Sungguh
Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah
dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta’ala juga berfirman,
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
“Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur’an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan
mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan
kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan
apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka
itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan
binasa.” (QS. Thaha: 123)
Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini
memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku
seorang hamba. Di antaranya adalah:
Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada
Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada
hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang
disyari’atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hanya
saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui
batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan
makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka
ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya.
Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh
sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada
Rabbnya.
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمً
“Dan
janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat
penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Oleh sebab itu segala perkara yang
menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh
diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya
kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan
rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.
Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan
membukakan pintu roja’/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga
seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan
dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun
dosa yang pernah dilakukannya.
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka
barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan
perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah: 39)
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk
dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar:
53)
Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan
membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang
mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta’ala
berfirman,
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS.
Al-A’raaf: 56)
Sementara makna dari berbuat ihsan tidak
hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang
tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat
masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan
apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththabradhiyallahu’anhu)
Maka siapa saja yang ingin menggapai
rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan
mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya’, memurnikan ibadah
untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di
kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan
akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.
Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh
yang timbul dengan beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa
menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim
yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat
al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.
Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah
itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun
juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong
untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena
keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang untuk
menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.
Wallaahu ta’ala a’lam bish shawaab. Wa shallallaahu
‘ala Nabiyyir rahmah, wa ‘ala aalihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumil
qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika
lah. Laa na’budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi
fi Sulukil ‘Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal.
13-20
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar